Skip to main content

Menuju < 3676 mdpl

Menuju 3676 mdpl



Setelah perjalanan solo dari Bengkulu, Allah tidak pernah habis-habisnya mengabulkan permintaan umat-Nya, termasuk saya (walaupun mungkin ini sedikit memaksa). Perjalanan ini sudah direncanakan 3 bulan sebelumnya, pembagian jobdesk sudah dibagi dengan jelas dan saya kebagian jadi kokinya (just accept that part, even don’t have any idea what menu should i cook), anggaran dana sudah di kalkulasikan, peralatan pun sudah di list dan itenerary sudah mantap dari hasil revisi beberapa kali disesuaikan dengan kondisi Semeru saat itu.

Ini merupakan kali pertama saya melakukan perjalanan, berkemah, mendaki gunung yang akan membutuhkan lama perjalanan selama 4 hari. Tidak begitu banyak berkontribusi mengatur perjalanan, saya memilih untuk mengikuti intruksi yang ada ataupun mengikuti apa  yang karib saya, yaitu Vita as Pitbul dan Endah as Smeggy (asal kata dari Smeagol) lakukan. Mereka sudah beberapa kali melakukan pendakian, pastinya sudah lebih memiliki pengalaman sebelumnya dibandingkan saya yang newbie.

Awal perjalanan 27 Desember 2015, naik kereta Matarmaja dari stasiun Pasar Senen – stasiun Malang. Jadwal keberangkatan kereta jam 15.30. Yap we’re ready!


Dalam perjalanan ini saya diperkenalkan dengan 3 orang bujangan yaitu Senna as Gemol, Kili as Kitol, dan Ervan as Jambul yang sudah biasa menjadi rekan perjalanan naik gunungnya Pitbul dan Smeggy. Mereka sudah memiliki chemistry satu sama lain, dilihat dari setiap topik demi topik yang mereka bahas terdengar asing untuk saya tapi tidak untuk mereka, bahkan sampai tertawa terbahak-bahak sampai lupa berhenti. Saya? Cuma bisa tersenyum, roaming. Berusaha memutar otak untuk bisa memahami bahasa para makhluk ini yang hadir di hadapan saya ini. Oh iya ada satu lagi bujangan yang lebih senior Mas Adi penghuni Malang.

Sekita jam 08.45 sampai di kota Malang, langsung di jemput Jeep putih nan gagah menuju Ranu Pani. Sela-sela perjalanan selalu mata dimanjakan oleh..


Gunung Bromo yang sedang erupsi, jadi bahan perhatian para pengunjung.
Sampai di Pos 1 Ranu Pani sekitar jam  11.30. Salah satu peraturan sebelum melakukan pendakian adalah melakukan pendataan identitas diri, pendataan dan pemeriksaan barang yang dibawa, dan briefing yang disampaikan oleh para volunteer yang kocak! Walaupun begitu harus tetap disimak karena materinya penting untuk kita-kita yang melakukan pendakian, dan semua intruksi yang mereka sampaikan berguna banget untuk saya yang newbie. Pokoknya Salam Lestari! Di Ranu Pani disini bisa mandi karena ada tempat pemandian umum, pastikan untuk kesadaranya sama sampah-sampah yang dibawa yaa, jangan sampai kececer dimana-mana,  walaupun sudah banyak banget yang jejak-jejak sampah yang kececer.


Pendataan barang bawaan.
Suasana ruang briefing
Gambar yang bukan hanya sekedar hiasan, tapi penuh dengan pesan-pesan penting.
Pukul 14.00. Setelah mandi, kita mulai pendakian menuju Ranu Kumbolo. Pastikan untuk berdoa terlebih dahulu, dan simpan jas ujan di tempat yang mudah di jamah, karena hujan kapan saja bisa turun. Awal perjalanan sudah disambut dengan jalur yang menanjal. Jangan terburu-buru untuk kamu yang newbie, nanti efeknya kecapean dan pusing. Tubuh butuh waktu untuk penyesuain diri apalagi di awal-awal, walaupun semangatmu berkobar, tapi coba untuk tetap relaks dan atur nafas dengan baik. 

15.41. Sampai di Pos kedua Landengan Dowo. Memang membutuhkan waktu cukup lebih lama, karena untuk mencapai pos ini pun sudah cukup kelelahan bagi saya yang newbie.



18.21 Sampai di Pos ketiga Watu Rejeng. Perjalan menuju pos ini penuh dengan harapan-harapan untuk sampai lebih cepat tapi ternyata palsu. Dari jarak jauh sudah terlihat pondok pos 3, ekspektasi sebentar lagi akan sampai namun gak sampai-sampai. Hari mulai gelap, membuat kita bukan hanya sabar tapi harus berhati-hati dalam menapaki jalan setapak, ditambah dengan udara dingin yang buat badan menggigil dan masuk angin. Mulai pakai sarung tangan, jaket, penutup kepala dan pasang headlamp.
Saya dan Embul dikala istirahat sambil menikmati senja.
 19.00 setelah beristirahat, mulai melanjutkan ke Pos 4 Ranu Kumbolo, lagi-lagi disambut dengan tanjakan yang cukup curam, lebih menantang dan harus lebih berhati-hati karena kita menanjak di dalam gelap dan dinginnya malam. Namun, selalu ada obat yang menyemangati kala itu, taburan bintang di langit menjadi penghias, seketika merubah malam yang kelam itu menjadi romantis untuk beberapa rekan saya yang berada di paling belakang barisan. Yuuhuuu~

20.30 Efek psikologi terus berfluktuatif di setiap langkah. Banyak pula macamnya yang muncul. Emosi, Lesu, Lelah, Kedinginan, masuk angin dan tiba-tiba riang ketika dari kejauhan sudah terlihat cahaya-cahaya yang bersumber dari area perkemahan Ranu Kumbolo. Yes, Alhamdulillaah!

22.15 Tenda sudah berdiri tegak, saatnya buka perbekalan dan masak makan malam, ganti baju, dan jangan lupa shalat. Jangan lupa shalat. Jangan lupa shalat dan berdoaaaaaaaa untuk kamu yang Muslim. Minta kepada-Nya perlindungan, keselamatan, kesehatan dan kelancaran perjalananmu, karena sesungguhnya kamu ga akan bisa apa-apa kalau tiba-tiba kamu kena Hipotermia atau kena sengat lebah atau terkilir apapun tanpa pertolongan-Nya. 

Selama Pagi Ranu Kumbolo! Pagi kami disambut dengan ucapan selamat pagi para pendaki-pendaki lain dari Sumatra Selatan, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Jawa Tengan dan Jawa Barat. Matahari yang terbit di tengah-tengah pertemuan dua bukit menjadi penghangat di sela percakapan kami. Embun-embun yang jadi asesories di permukaan air Ranu Kumbolo pun mulai sirna.
 
 
Air yang jernih ini jadi sumber mata air bukan hanya untuk pendaki, tapi penghuni-penghuni lain yang tinggal disana. Sudah jadi kewajiban para pendatang untuk jaga kebersihan dan kejernihannya supaya tetap utuh. Sepertinya bukan hal yang  layak untuk membuang sisa makanan ke danau, walaupun niatnya baik untuk memberi makanan ikan-ikan yang tinggal di sana. Jangan khawatir, alam punya siklus dan prosedurnya sendiri untuk membuat ikan disana tetap hidup. Salam Lestari!

 
12.00 mulai melanjutkan perjalan ke Pos selanjutnya Cemoro Kandang, disambut dengan tanjakan cinta. Mitosnya untuk para single akan menemukan pasangannya kalau melewati tanjakan cinta tanpa menoleh kebelakang. Untuk kami para wanita lajang menjadi tantangan tersendiri melewatinya. Tanpa berbicara panjang lebar, kami pun melewatinya dengan serius. Untuk saya jadi cobaan yang cukup berat, terlalu bersemangat namun belum lihai betul mengatur nafas yang benar saat mendaki. Alhasil, walaupun tanjakan cinta berhasil dilewati, dada saya sangat sesak.
Wajah wanita-wanita bahagia setelah berhasil melewati tanjakan cinta tanpa menoleh kebelakang.
Melewati Pos Cemoro Kandang disambung langsung menuju Pos Jambangan. Di sini hujan turun, dan suhu udara sangat dingin sekali. Tangan mati rasa. Jangan berdiam diri, justru disini di tuntut untuk terus bergerak-bergerak, walaupun masuk angin dan sakit perut meradang.
Perjalanan menuju Pos Cemoro Kandang.
Sampai di Pos Jambangan.
Sekitar jam 17.15 akhirnya sampai di Pos Kalimati. Ini kali pertama saya BAB di alam dan harus menggali tanah dulu, ok bukan suatu hal yang layak di ceritakan, tapi ini satu hal yang diluar ekspektasi saya ternyata saya juga bisa mengalami hal ini. Sejenak jadi ingat kucing saya “Soklat” di rumah.  (semoga pembaca bisa wajar ya, hehe)

 
Tenda sudah terpasang, ganti baju dan siap-siap untuk shalat. Perut tidak bisa kompromi, masuk angin, kembung dan mual. Terima kasih untuk freshcare dan Tolak angin yang sedikit memulihkan rasa itu. Saya memilih untuk tidur bersama Pitbul. Sementara Jambul dan Smeggy mewakilkan untuk masak makan malam. Saya ingat sekali menunya saat itu nasi yang dimasak dengan kebanyakan air sehingga jadi setengah bubur, dan rollade goreng. Perut yang mual membuat saya tidak selera makan, tapi untuk bisa summit selain istirahat yang cukup dibutuhkan juga energi yang banyak. Baiklah saya paksakan untuk makan sedikit walaupun semakin buat mual-mual dan hampir muntah (*sampai saat ini masih trauma untuk makan rollade).

Tepat jam 23.00 kita berdoa meminta untuk diberikan kelancaran, kekompakan, dan bisa sama-sama sujud syukur di puncak 3676mdpl. Lalu berangkat menuju Gunung Semeru. Lagi-lagi udara yang dingin, jalur pendakian yang terus menjanjak, didalam gelapnya malam membuat kita harus lebih berhati-hati untuk meraba-raba jalan, ditambah lagi dengan rasa kantuk yang luar biasa jadi penggangu dalam pendakian. Semakin tinggi mendaki, jalur semakin setapak, sementara kiri dan kanan ditumbuhi semak belukar yang menutupi jurang. Perut semakin tidak bisa kompromi, memaksa saya untuk bersembunyi dan menggali tanah diluar jalur pendakian dekat dengan jurang di dalam gelap. Tapi bukan disini puncak cobaan yang sesungguhnya.

Dari batas vegetasi sudah terlihat puncak Mahameru, ditandai dengan kerlap-kerlip cahaya lampu senter para pendaki yang sudah lebih dulu sampai. Waaah pikirku itu dekat dan akan cepat sampai. Ternyata..dugaan saya salah. Medan yang berkerikil, berpasir, dan berbatu sungguh sulit untuk dilewati. Naik satu langkah bisa turun sampai tiga langkah bahkan lima. Salah satu tekniknya adalah berjalan zigzag, namun tetap saja suliiiit sekali. Belum lagi di tambah rasa kantuk yang luar biasa menjadi cobaan terbesar saat itu. Banyak pendaki yang menyusul dan terus memberikan semangat “ Ayo mbak pasti bisa”. Sampai suatu saat saya berpas-pasan dengan rombongan pendaki yang salah satu anggotanya menggigil kedinginan, entahlah hipotermia atau hanya menggigil. Berusaha untuk menolong dengan memberikan koyo dan freshcare agar tetap hangat kepada si penderita. Lalu, melanjutkan pendakian.

Ditengah rasa lelah, rasa letih, rasa kedinginan, rasa sesak, rasa capek dan rasa kantuk. Saya putuskan untuk istirahat dan meregangkan badan di atas kerikil-kerikil Semeru. Diiringi dengan rekaman surat Al-Fajr dan As-Syams merubah malam yang kelam dan hening itu menjadi syahdu. Pagi yang buta mencatat cahaya pertama. Fajar. Assalamualaikum Fajar. Perlahan-lahan cahaya itu muncul dari ufuk timur, yang semula hitam pekat kini perlahan berwarna. Awalnya segaris merah, lalu perlahan garisan itu menebal berubah menjadi jingga. Garisan itu bertambah di sisi-sisi lain di belakang bukit-bukit dan kian menebal. Seisi langit yang awalnya hitam kini berwarna, lalu saling berkolaborasi antara hitam, merah, jingga, kuning, dan biru. Ini adalah suatu momen yang mengharukan karena sentuhan-Nya, mengejutkan karena pemandangan ini hadir tak terduga, menakjubkan karena pesona yang tak kunjung bisa diterjemahkan meski tetap terbaca dalam tulisan ini, yang mungkin hanya bisa dijelajahi dalam pikiran penulisnya sendiri. Dampak Spiritual yang sungguh medalam.
 
Kala itu Pitbul dan Jambul memimpin berada di depan dan semakin dekat menuju puncak. Saya berusaha untuk terus mendaki menyusul mereka. Posisi Smeggy dan Kili ada di bawah saya, dan Gemol di paling terakhir. Bermodalkan tracking pole, saya berusaha untuk terus mendaki, tapi sulit sekali. Semakin ke atas tanjakan semakin curam. Saat itu saya ngantuk sekali, saya memutuskan untuk rebahan sebentar sambil menunggu Kili, Smeggy, dan Gemol menyusul. Ternyata saya tertidur, dan dibangunkan oleh pendaki yang sudah turun dari puncak. Mereka kira saya sakit, dan memberikan sepotong roti dan air minum untuk menambah energi. Saya memutuskan untuk melanjutkan pendakian sendiri, karena Smeggy dan Kili masih belum menyusul. Sampai tiba saatnya Jambul dan Pitbul tidak terlihat di jalur pendakian, pertanda mereka sudah mencapai puncak, disisi bawah saya tidak melihat keberadaan Kili, Smeggy dan Gemol. Kemana mereka? Apakah mereka tidak kuat? Dan memutuskan untuk mengakhiri pendakian?

Disini merupakan cobaan sesungguhnya, dimana saya berdiri sendirian ditengah kerikil Semeru. Berusaha untuk mencapai puncak, namun energi sudah habis terkuras, dan persediaan minum dibawa oleh rekan yang lain. Tiba-tiba muncul rasa bersalah kepada kedua orangtua dan kakak-kakak, pasti mereka sangat khawatir karena anak gadis semata wayangnya tidak bisa dihubungi selama 4 hari kebelakang ini. 
Wujud ungkapan rasa penyesalan di atas Gunung Semeru :(
Sampai Akhirnya saya berpas-pasan dengan 3 pemuda dari Surabaya yang juga mau summit.Mereka mengira saya mendaki sendirian. Begitu saya cerita bahwa masih ada rekan saya 3 orang di bawah, mereka langsung bilang ada salah satu laki-laki dari 3 orang itu yang turun ke bawah. Asumsi saya semakin diperkuat, ya mungkin mereka semua turun ke bawah tidak melanjutkan pendakian, sehingga sampai-sampai tidak menyusul saya. Akhirnya saya memutuskan untuk kita mendaki bersama-sama. Setelah banyak berbincang, ternyata mereka adalah rombongan yang tadi saya kasih koyo dan freshcare. Luar biasa. Mereka adalah mahasiswa-mahasiswa semester 3 salah satu Universitas di Surabaya. Mereka adalah Catur, Teddy, dan Faris.
Teman baru yang pastinya bukan suatu kebetulan dipertemukan di tengah-tengah kerikil Semeru
Waktu menunjukkan tepat jam 09.00, menurut pendaki yang baru turun dari puncak dititik tempat saya berdiri masih membutuhkan waktu 1 jam lagi untuk mencapai puncak. Namun, sekitar jam 10.00 diprediksi Wedus Gembel akan keluar. Maka, kami memutuskan untuk tidak melanjutkan pendakian. Perasaan sangat kecewa sekali karena tidak bisa mencapai puncak. Cuma saya ingat pesan yang dituliskan di papan tulis pada saat di ruang briefing “ TUJUAN UTAMA BUKANLAH PUNCAK, MELAINKAN KEMBALI KE RUMAH DENGAN SEHAT DAN SELAMAT”.
Perjalanan menuruni Gunung Semeru
Saya turun perlahan-lahan sambil menunggu Jambul dan Pitbul muncul dari puncak menuruni Mahameru. Namun, tak kunjung muncul. Sampai pada akhirnya saya berpas-pasan dengan pendaki yang baru saja dari puncak dan menanyakan keberadaan dua rekan saya itu. Ternyata, mereka merupakan pendaki terakhir yang ada di puncak, itu berarti sudah tidak ada pendaki lain lagi?!?. Apakah saya tidak melihat mereka turun? Atau kita beda jalur turunnya sehingga tidak berpas-pasan? Tidak mungkin terjadi karena jalur pendakian menuju puncak cuma satu, dan pandangan dari bawah sangat jelas siapa saja yang turun dari puncak. Namun, Saya berusaha untuk berpikir positif sambil menuruni Semeru.
Sampai batas vegetasi, semakin merasakan dehidrasi yang luar biasa.
Sampai di batas vegetasi, sangat mengejutkan Pitbul, Jambul, Kili dan Smeggy turun bersama-sama. Sungguh di luar nalar, kenapa bisa tidak berpas-pasan dengan Kili dan Smeggy yang tadi berada di bawah saya?, tapi ada rasa syukur yang tidak terbendung ternyata mereka baik-baik saja. Kehebohan pun muncul dari tragedi ini. Dimana pendaki yang terakhir berada di puncak tidak melihat keberadaan Jambul dan Pitbul, serta Kili dan Smeggy tidak berpas-pasan dengan saya saat mendaki.


Sungguh ini masih menjadi misteri dan menjadi pelajaran yang sangat berharga khususnya bagi saya sendiri. Everything can happens. Banyak rahasia yang pastinya ada di luar nalar manusia. Banyak sekali godaan dan halusinasi yang muncul. Hal sekecil apapun bisa jadi perkara yang besar, maka jangan anggap sepele segala hal. Kepedulian dan kekompakan satu sama lain sangat dibutuhkan. Saya sangat setuju dengan statement “Jika ingin mengetahui dan mengenal karakter seseorang lebih dalam, maka ajaklah pergi jauh”. Bahkan saya yang sudah hampir 6 tahun kenal dengan Pitbul dan Smeggy, baru mengenal kebiasaan, pola pikir, dan karakter mereka dari perjalanan ini. 

Tidak dapat mencapai 3676mdpl. Saya kecewa tapi tidak sampai juga dijadikan perkara yang besar. Namun, perjalanan menuju 3676mdpl memberikan makna tersendiri, menggurat pelajaran hidup yang luar biasa, mempertemukan saya dengan banyak hal di luar ekspetasi yang membekas, dan saya rasa lebih siap untuk menghadapi proses perjalanan kehidupan selanjutnya..


 
It's not about "what is your destination" but "what you've got from the journey". 
The mountain has a way of choosing its own lesson to teach.
And from this my first hike, I've got a lot.  

Comments

  1. sekuelnya 5cm yak kak? memang keren ih kakak yang satu ini, juuuuooooossseeee \m/

    ReplyDelete
  2. Very inspiring vanya. So great!

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

HAI BOMBANA!

Sebuah proyek yang membuat saya merasakan kembali terbang di udara, menembus awan, menikmati pemandangan laut dengan bulatan-bulatan abstrak pulau tak berpenghuni,  gunung-gunung yang dihiasi hijaunya tumpukan pepohonan, dan mendarat dengan jiwa yang siap berpetualang namun sedikit khawatir ( because it was my first experience go to  the strange place, alone! ) ke daerah yang saya cari informasinya di google masih sangat minim sekali. HAI BOMBANA! Salam Kenal dari seorang gadis 21 tahun yang penasaran akan keadaanmu disana. Indonesia bagian Timur.. Bombana merupakan salah satu kabupaten yang terletak di sebelah selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten yang masih sederhana, belum ada lampu merah, tapi sangat kaya akan sumber daya alamnya. Belum banyak orang mengenal daerah ini, karena kabupaten ini baru terbentuk yang merupakan hasil dari pemekaran Kabupaten Buton. Dari Kendari yang merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara, tepatnya dari Bandar Udara Haluleo

HAI BOMBANA! Part 2

Selanjutnya, proyek ini terus menuntun saya ke ujung selatan Kab. Bombana, membawa saya masuk ke dalamnya, menyusuri jalan berkelok-kelok dengan sisi jalan yang dihiasi pepohonan jambu mete hingga sampai ke salah satu desa yang terletak di atas bukit, Desa Balasari. Akses jalan masih sulit untuk dilalui mobil, karena belum di aspal. Sehingga mau tidak mau saya harus menggunakan motor. Sinyal pada telepon genggam juga tidak terdeteksi disini. Panas terik matahari juga ikut membakar semangat saya untuk bertugas dan berusaha mendapatkan sesuatu yang asing tetapi harus unik! Langit sangat cerah, mendukung saya untuk beraktivitas dikala siang itu. Nampak jalan yang belum diaspal, tapi suguhan pemandangan sekitar menyulap perjalanan saya menjadi nikmat. Tak jarang pohon-pohon besar yang tumbuh dibabat habis dan dibakar di sebagian lahan untuk dialihfungsikan sebagai perkebunan dan pertanian warga. Desa Balasari sangat kaya akan perkebunan Jambu Monyet/Jambu Mete/Mede (

Transformasi massal

Sore ini, sehabis berkebun bersama petani, kurebahkan tubuhku yang tipis di sofa berwarna hijau. Ada koran Kompas hari ini (25/5/2016) terletak rapi di atas meja. Isi berita nya pun tak habis-habisnya tentang korupsi, kekurangan swasembada pangan, bencana alam dsb. Ada artikel menarik yang membuatku sangat ingin membacanya secara mendalam.  Nama penullisnya adalah Bambang Hidayat, seorang Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Di akhir paragraf karyanya, ada beberapa kalimat yang membuat saya berfikir penuh dengan apa yang beliau tulis.. "Dalam buku ajar ekologi sederhana dapat ditemui bahwa ilmu itu adalah pengetahuan mengenai hubungan timbal balik antara serba hidup dan lingkungannya dimana serba hidup itu tumbuh dan berkembang. Makna yang dapat kita tuai adalah pemekaran benih adab untuk mengecambahkan kualitas luhur kemanusiaan. Ini bukan upaya transfromasi massal agar semua orang menjadi ahli lingkungan, melainkan pengimbang tanggung jawab sesama agar ada waris