Selanjutnya, proyek ini terus menuntun saya ke ujung selatan Kab. Bombana, membawa saya masuk ke dalamnya, menyusuri jalan berkelok-kelok dengan sisi jalan yang dihiasi pepohonan jambu mete hingga sampai ke salah satu desa yang terletak di atas bukit, Desa Balasari. Akses jalan masih sulit untuk dilalui mobil, karena belum di aspal. Sehingga mau tidak mau saya harus menggunakan motor. Sinyal pada telepon genggam juga tidak terdeteksi disini.
|
Panas terik matahari juga ikut membakar semangat saya untuk bertugas dan berusaha mendapatkan sesuatu yang asing tetapi harus unik! |
|
Langit sangat cerah, mendukung saya untuk beraktivitas dikala siang itu. |
|
Nampak jalan yang belum diaspal, tapi suguhan pemandangan sekitar menyulap perjalanan saya menjadi nikmat. |
|
Tak jarang pohon-pohon besar yang tumbuh dibabat habis dan dibakar di sebagian lahan untuk dialihfungsikan sebagai perkebunan dan pertanian warga. |
Desa Balasari sangat kaya akan perkebunan Jambu Monyet/Jambu Mete/Mede (Anacardium occidentale) dan Kakako/Coklat (Theobroma cacao) . Saya menyempatkan diri untuk berhenti dan turun dari motor untuk mampir di salah satu lahan perkebunan Jambu monyet. Beruntung ada pemiliknya disana, Bapak Ramli yang menggarap lahan perkebunan seluas 2 hektar. Sedikit berbincang dengan beliau, "yang berharga disini itu kacangnya, kalo buahnya ndak, kita orang biarkan saja membusuk di tanah. Buah jambu setelah dipanen kemudian dipisahkan kacangnya. Harga kacang mete yang masih basah itu sekitar Rp 8000 ".
Terlintas di benak saya , sayang sekali ini jambu-jambu dibiarkan membusuk di tanah, padahal setelah saya cicip rasa buahnya cukup manis walaupun kesat. Namun, katanya getahnya itu bisa membuat kulit jadi gatal-gatal.
|
Anacardium occidentale yang matang di pohon. |
|
Pak Ramli dengan senang hati memberikan beberapa buah Jambu mete ke saya. |
|
Pak Ramli begitu gembira ketika di foto :) |
Setelah mampir ke Kebun Jambu Mete, saya juga melewati banyak perkebunan Kakao/Cokelat. Seperti halnya di Kebun Jambu Mete, saya juga mampir sejenak dan beristirahat di warung yang kebetulan bersebelahan dengan kebun-kebun cokelat. Saya begitu penasaranya karena memang belum pernah melihat buah coklat bergelantungan di pohon, dengan warna buah kuning, marun, merah muda. Seru!
|
Theobroma cacao |
Perjalanan PP Desa Balasari memakan waktu kurang lebih 1 jam untuk naik bukit dan turun bukit, sempat mampir di rumah warga sekitar, menikmati kunjungan kerumah panggung yang unik. Tak jarang tiap rumah memelihara anjing untuk melawan babi-babi hutan suka menganggu perkebunan warga.
Setelah tugas selesai di Desa Balasari, saya harus segera kembali ke Kasipute. Bersama bapak Rais yang rendah hati bersedia menyetir kurang lebih selama 4jam mengantar saya ke ibukota kabupaten. Sepanjang perjalanan selalu di suguhi dengan pemandangan sawah-sawah, diselingi dengan tambak ikan juga perkebunan jambu mete. Ada satu pemandangan yang membuat saya takjub, dan minta berhenti untuk berfoto sebentar disana, nama tempat itu adalah Lappa Pajongang yang artinya lapangan luas. Amat sangat luas. Banyak satwa seperti sapi, kerbau dan kuda merumput disini. Menurut cerita dari Pak Rais, para penduduk disini bilang ini mirip bukit teletubbies, karena banyak bukit-bukit dan di daerah sini dulunya bekas banker Jepang, tapi sayang sekali saya tidak bisa menyusuri daerah ini secara mendalam karena dikejar oleh waktu.
|
Perjaalanan melewati Lappa Pajongang |
|
Bukit-bukit seperti gurun pasir berjejer, begitu pula dengan awan yang membentuk formasi berbaris |
|
Lappa Pajongang akan dibangun lapangan terbang, semoga saja tidak jadi. Saya takut nantinya satwa-satwa disana akan terganggu kenyamanan dan kehidupanya dengan suara mesin pesawat. |
Ditengah perjalanan ada 5 orang anak remaja yang melambai-lambaikan tanganya meminta tumpangan. Dengan sigap Pak Rais memberhentikan mobilnya dan membuka kaca jendelaku ,bertanya "kita orang mau kemana to?". Anak-anak remaja itu serentak menjawab " Kasipute pak". Pak Rais mempersilahkan mereka masuk ke dalam mobilnya, dan perjalanan kami tidak sesepi sebelumnya. Pak Rais mulai menyetel lagu dangdut khas daerah sana dan anak-anak remaja itupun ikut bernyanyi mengikuti lagu yang disetel. Pak Rais dan anak-anak remaja itu saling bercakap-cakap menggunakan bahasa daerah mereka. Ternyata anak remaja itu baru lulus SMA dan langsung bekerja sebagai sales alat terapi kesehatan. Mereka harus promosi alat-alat tersebut ke rumah-rumah di pelosok yang sulit akan kendaraan umum. Saat itu waktu menunjukkan pukul 5 sore masih lumayan jauh untuk sampai ke kota Kasipute. Saya penasaran dan bertanya kepada kelima remaja itu "kalau kalian ndak ada tumpangan, bagaimana kalian pulang to?apa menginap?". Salah satu dari mereka menjawab "pokonya harus dapat tumpangan kak, sekalipun itu truk besar". Saya cuma merespon "Oooh begitu ya .." padahal saya cukup tercengang, untuk anak remaja seumur mereka harus bekerja seperti itu dan mereka kuat, saya salut! Dengan suara pelan pak Rais berkata, "kalau lebih malam lagi, akan sulit mereka mendapat tumpangan, karena jarang sekali kendaraan yang lewat sini". Saya hanya bisa megangguk pelan dan sekali lagi hati saya dibuat kaget dan khawatir, "untung saja kita lewat sini ya pak" dalam hati saya berkata. Kalau malam akan gelap sekali disana karena fasilitas penerangan jalan masih belum ada.
|
Pak Rais secara rendah hati menolong para anak remaja. |
|
Anak-anak remaja berdarah turunan Bugis yang riang ditumpangi mobil pak Rais. |
Setelah perjalanan panjang, sampai juga di Kaspute. Kembali check in
di Hotel Oasis dan kembali mengalami pemadaman listrik bergilir.
Saya memutuskan untuk makan malam di luar, di Rumah Makan Jawa Timur yang
tepat berada di depan pelabuhan Kasipute, menghidangkan ikan bakar dan
ikan goreng yang masih segar. Nyummy!
|
Satu ekor Ikan Putih besar yang harus saya habiskan sendiri dengan sambal rica-rica yang pedas. |
|
Rumah Makan ini bersebrangan dengan alun-alun, keramaian acara Porseni terlihat dari sini. Setelah perut terisi sangat penuh, saya melanjutkan berjalan kaki menuju alun-alun untuk melihat keramaian yang ada. Saat itu ada acara perlombaan pertunjukkan seni dari masing-masing kecamatan. Sayang sekali, saya melewati banyak pertunjukkan seni seperti tari-tarian adat dan lagunya. Tapi saya sempat menonton pertunjukkan dari Kec. Poleang. Mereka menampilkan kolaborasi permainan alat musik tradisional dengan modern. Salah satu alat musik tradisionalnya adalah Gambus.
|
Gambus salah satu alat musik tradisional |
Keesokan
harinya saya harus menuju kota Kendari untuk pulang menuju Jakarta.
Pemandangan yang tidak saya nikmati saat berangkat, akhirnya saya
nikmati pada saat perjalanan pulang. Melewati Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai Kab.
Konawe Selatan. Taman ini dulunya ditinggali banyak Zonga (rusa) namun
perburuan liar makin merambah, Zonga semakin banyak diburu untuk diambil
dagingnya sehingga sangat jarang sekali para Zonga kelihatan di Taman
Nasional ini. Menurut mitos para Zonga merasa terganggu kehidupanya dan
memutuskan pindah ke pulau sebrang dengan cara berenang, tapi ada
faktanya bahwa keberadaan Zonga memang ada di pulau sebrang. Taman
Nasional Rawa Aopa Watumohai sangat riskan dengan adanya kebakaran hutan
Perjalanan Kendari-Jakarta, transit dulu di Bandara Internasional Hassanudin Makassar, walaupun hanya 30 menit waktu transit, kali ini saya turun pesawat memanfaatkan waktu yang ada untuk melihat-lihat di sekitar Bandara. Bandara yang luas, tertata, teratur, dan bagus. Setiap ke suatu tempat tidak boleh ketinggalan untuk mengabadikan momen. so here there are!
|
Saya bersama ibu Sarasvati rekan kerja seproyekan yang tidak sengaja bertemu di Bandara Haluleo, dilatar belakangi dengan miniatur Kapal Pinisi yang biasa dipakai pelaut suku Bugis hingga sampai menuju Pulau Madagaskar |
Perjalanan ke daerah timur Indonesia, tepatnya ke Kab. Bomabana, Provinsi Sulawesi Tenggara selama 4 hari 3 malam memberikan kesan tersendiri. Selain pengalaman pertama saya menginjakkan di Pulau Sulawesi sendiri, membuat saya rindu akan keramahan dan kebaikan penduduk sekitar, ketagihan akan kesunyian dan kedamaian daerahnya, udara yang bersih, pemandangan yang sedap dipandang. Terima Kasih Bombana atas keramahannya menerima gadis 21 tahun yang saat ini masih penasaran akan kekayaan dan keindahan alammu yang masih apik tersimpan disana. Engka nasewa wettu to siruntu paimeng! (Semoga nanti kapan waktu kita bertemu kembali, terima kasih!)
Hai Indonesia, Tanah air dengan berjuta misteri alamnya, dengan berpuluh juta adat istiadatnya, dengan milyaran keanekaragaman hayatinya, berbagai Ilmu pengetahuan yang tak terhingga jumlahnya. Semoga Harus ada kesempatan untuk menyusuri pelosok-pelosok daerah mu yang lain! tolong berikan pengalaman dan pelajaran baru untuk gadis yang terus menerus penasaran ini, menjadikan suatu pengalaman baru itu menjadi bekal hidup dihari tua nanti. amin Ya Allah...
Comments
Post a Comment