Skip to main content

HAI BOMBANA!

Sebuah proyek yang membuat saya merasakan kembali terbang di udara, menembus awan, menikmati pemandangan laut dengan bulatan-bulatan abstrak pulau tak berpenghuni,  gunung-gunung yang dihiasi hijaunya tumpukan pepohonan, dan mendarat dengan jiwa yang siap berpetualang namun sedikit khawatir (because it was my first experience go to  the strange place, alone!) ke daerah yang saya cari informasinya di google masih sangat minim sekali. HAI BOMBANA! Salam Kenal dari seorang gadis 21 tahun yang penasaran akan keadaanmu disana. Indonesia bagian Timur..




Bombana merupakan salah satu kabupaten yang terletak di sebelah selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten yang masih sederhana, belum ada lampu merah, tapi sangat kaya akan sumber daya alamnya. Belum banyak orang mengenal daerah ini, karena kabupaten ini baru terbentuk yang merupakan hasil dari pemekaran Kabupaten Buton.

Dari Kendari yang merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara, tepatnya dari Bandar Udara Haluleo untuk menuju ke Kasipute (ibukota Kabupaten Bombana) dapat menggunakan travel dengan tarif berkisar Rp 700.00- Rp 600.000. Jarak Kendari-Kasipute sekitar 170km kurang lebih lama perjalanan selama 3 jam. Akses jalan sudah beraspal namun banyak jalanan yang bolong dan berbatu membuat perjalan menjadi sedikit ekstrim. Waktu itu saya mulai berangkat beranjak malam sekitar jam 17.00 WITA dari Kendari, sehingga tidak dapat melihat pemandangan di sepanjang jalan karena penerangan jalan masih begitu minim.
Selamat datang di Bandara Haluleo, Kendari, Sulawesi Tenggara.
Sampai di kota Kasipute, saya menginap di Hotel Oasis yang letaknya cukup strategis, yaitu berada di tengah kota dekat dengan alun-alun. Hotel yang sederhana, tetapi cukup nyaman. Tarif per malam sekitar Rp 300.000-Rp 400.000. Kamar sudah di lengkapi AC, TV kabel , dan kipas angin. Di daerah ini masih sering terjadi pemadaman listrik berligir, namun tidak usah khawatir karena hotel ini menyediakan genset untuk menjaga kenyamanan tamu. Hanya saja AC tidak dapat dinyalakan karena wattnya terlalu besar, jadi supaya tamu tidak kepanasan pihak hotel juga menyediakan kipas angin di setiap kamar. Biasanya listrik mulai nyala pada jam 22.00 WITA. Namun, saya kurang betah karena di dalam kamar. Saya putuskan untuk jalan-jalan keluar hotel, melihat pemandangan malam kota Kasipute. Subhanallah, saya dibuat takjub dengan langit yang jernih dihiasi oleh kerlipan cahaya bintang-bintang hampir mirip dengan Milky Way...

Salah satu kamar Hotel Oasis sederhana, namun cukup nyaman dan bersih.
Keesokan harinya, Karena jarak hotel yang sangat dekat dengan alun-alun saya memutuskan berjalan kaki sendiri, melihat keramaian yang ada dan standby dengan tas kecil yang berisi kamera mirroless, siap untuk menangkap hal-hal yang dirasa unik. Namun, ditengah perjalan ada buntut yang mengikuti saya sampai ujung jalan. Ternyata gerombolan anak kecil yang riang dan berlari kecil terus berjalan dibelakang saya, salah satu dari mereka bertanya "Kita punya orang darimana ini to?, mau kemana kita orang?" sambil tertawa kecil penasaran. Saya hanya merespon dengan cengiran lebar dan menjawab "mau ke alun-alun lihat yang ramai-ramai disana, mau ikut to?", mereka hanya geleng-geleng malu-malu. Begitu saya keluarkan kamera mereka sangat gembira dan bersemangat minta difoto. Hihi Seru sekali!





Alun-alun kota Kasipute bersebelahan dengan Pelabuhan Kasipute, saya memutuskan untuk berjalan menyusuri pelabuhan dulu..
Pos Pelabuhan Kasipute, akses jalan keluar masuk ke Pelabuhan Kasipute

Setelah melewati Pos Pelabuhan Kasipute, tampak di ujung jalan itu dia Pelabuhan Kasipute
Bocah yang sedang  menggayuh sepeda kesayangannya disepanjang jalan menuju pelabuhan 

Kota Kasipute memiliki Pelabuhan bernama Pelabuhan Kasipute, yang melayani akses menyebrang ke pulau sebrang, Pulau Kabaena (masih masuk ke dalam Kabupaten Bombana). Kapal yang sederhana berangkat setiap pagi dengan tarif per orang sekitar Rp 125.000-Rp 150.000. Sayangnya saya tidak berani untuk menyebrang, karena cuaca sedang tidak mendukung di bulan Desember, menurut penduduk sekitar “bisa saja kita punya orang menyebrang, tapi tinggi ombak bisa mencapai 6 meter. Lama perjalanan normal biasanya 3 jam, ini bisa sampai 6 jam karena kapal harus kerja keras menerjang ombak besar” 
Kapal sederhana yang selalu mengangkut penumpang baik dari Kasipute menuju Pulau Kabaena, maupun dari Pulau Kabaena menuju Kasipute.
"Irama kopi dangdut yang ceria, membuat hati menjadi gembira", sepotong lirik lagu dangdut menghiasi sore hari yang cerah dikala itu, menghadirkan hiburan dan keramaian untuk para awak kapal yang sedang istirahat.
Disudut yang lain ada kapal yang jangkarnya masih tenggelam di dasar laut. Itu merupakan kapal para nelayan yang sedang mengecek keadaan kapal, memastikan bahwa mesin, kebutuhan untuk memancing semuanya tersedia dan dalam kondisi yang baik.    
Nelayan sedang mempersiapkan dan mengecek keadaan kapal untuk berlayar dan memancing sore ini, dan akan kembali keesokan harinya.


Mesin kapal sudah dinyalakan, para nelayan siap untuk berlayar. 
Selanjutnya, saya beranjak meninggalkan pelabuhan dan meneruskan berjalan kaki menuju alun-alun yang keramaiannya sudah terlihat dari pelabuhan. Kebetulan saya datang ke daerah ini bertepatan dengan hari jadinya Kabupaten Bombana yang ke 11 yaitu pada tanggal 18 Desember 2014. Sebelumnya seperti biasa selalu dirayakan dengan kegiatan PORSENI dan apel yang dipimpin oleh bupati Kab.Bombana dan pesertanya perwakilan dari masing-masing Kecamatan. Masing-masing kecamatan berkompetisi seunik mungkin dalam berpakaian, sebagian besar mereka berpakaian adat khas dari suku mereka, tak jarang ada yang membawa alat musik. Beruntung sekali saya sempat hadir dan menikmati di acaranya. Kegiatan ini berlangsung selama 4 hari dari tanggal 15-18 Desember 2014 yang diselenggarakan di alun-alun kota Kasipute.
Pakaian adat berwarna biru terang dengan kombinasi asesories yang perak nan unik merupakan pakaian khas suku Moronene yang memang asli penduduk daerah ini.
Mengapa ada orang yang memakai pakaian adat Bali? Ternyata ada satu kecamatan yang ditinggali oleh penduduk imigran dari Bali. Saat saya melewati kecamatan itupun banyak rumah-rumah adat khas bali dan ada pura tempat mereka beribadah juga.

Pakaian adat berwarna hijau dengan kombinasi emas dan merah merupakan pakaian khas suku Bugis. Saat ini mayoritas penduduk Kabupaten Bombana adalah suku Bugis, karena banyak suku Bugis yang migrasi kedaerah ini

Penduduk Provinsi Sulawesi Tenggara banyak yang berasal dari berbagai suku. Namun menurut informasi yang diberikan oleh Pak Budi, suku asli daerah ini adalah suku Moronene. Lain suku, lain pula bahasa ibunya. Suku Moronene memiliki bahasa ibu yang berbeda dengan Suku Bugis. Jadi saat saya minta diajarkan bahasa Sulawesi Tenggara, pak Budi banyak menjelaskan, kira-kira saya menyimpulkan seperti ini : tidak ada bahasa asli Sulawesi Tenggara, karena Sulawesi Tenggara ditinggali oleh beragam suku, jadi sulit untuk menyatakan bahwa Sulawesi Tenggara memiliki bahasa daerah yang satu.

Ya masih banyak yang cerita perjalanan saya yang mau saya ungkapkan disini, mengenai potensi Kab. Bomabana yang luar biasa, bagaimana keramahan dan kebaikan para penduduknya, bagaimana kekayaan alam Kab.Bombana. Supaya teman-teman tidak terlalu panjang membaca dan berujung jadi ngantuk. Saya akan membagi cerita perjalanan saya ke dalam  postingan HAI BOMBANA! Part 2.  Engka nasewa wettu to siruntu paimeng! See ya!





Comments

  1. Perkenalkan, saya Aliya. Saya berencana ke Bombana namun tidak tahu penginapan apa yang baik. Hotel yang mbak Vania sebutkan di post ini apakah recommended? Punya kontaknya kah? Terimakasih.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

HAI BOMBANA! Part 2

Selanjutnya, proyek ini terus menuntun saya ke ujung selatan Kab. Bombana, membawa saya masuk ke dalamnya, menyusuri jalan berkelok-kelok dengan sisi jalan yang dihiasi pepohonan jambu mete hingga sampai ke salah satu desa yang terletak di atas bukit, Desa Balasari. Akses jalan masih sulit untuk dilalui mobil, karena belum di aspal. Sehingga mau tidak mau saya harus menggunakan motor. Sinyal pada telepon genggam juga tidak terdeteksi disini. Panas terik matahari juga ikut membakar semangat saya untuk bertugas dan berusaha mendapatkan sesuatu yang asing tetapi harus unik! Langit sangat cerah, mendukung saya untuk beraktivitas dikala siang itu. Nampak jalan yang belum diaspal, tapi suguhan pemandangan sekitar menyulap perjalanan saya menjadi nikmat. Tak jarang pohon-pohon besar yang tumbuh dibabat habis dan dibakar di sebagian lahan untuk dialihfungsikan sebagai perkebunan dan pertanian warga. Desa Balasari sangat kaya akan perkebunan Jambu Monyet/Jambu Mete/Mede (

Transformasi massal

Sore ini, sehabis berkebun bersama petani, kurebahkan tubuhku yang tipis di sofa berwarna hijau. Ada koran Kompas hari ini (25/5/2016) terletak rapi di atas meja. Isi berita nya pun tak habis-habisnya tentang korupsi, kekurangan swasembada pangan, bencana alam dsb. Ada artikel menarik yang membuatku sangat ingin membacanya secara mendalam.  Nama penullisnya adalah Bambang Hidayat, seorang Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Di akhir paragraf karyanya, ada beberapa kalimat yang membuat saya berfikir penuh dengan apa yang beliau tulis.. "Dalam buku ajar ekologi sederhana dapat ditemui bahwa ilmu itu adalah pengetahuan mengenai hubungan timbal balik antara serba hidup dan lingkungannya dimana serba hidup itu tumbuh dan berkembang. Makna yang dapat kita tuai adalah pemekaran benih adab untuk mengecambahkan kualitas luhur kemanusiaan. Ini bukan upaya transfromasi massal agar semua orang menjadi ahli lingkungan, melainkan pengimbang tanggung jawab sesama agar ada waris