Skip to main content

Menapaki Bengkulu yang Berliku-liku


Jadi kamu mau fokus ke Semeru atau nyari uang Nya? Salah satu pertanyaan yang terlontar membuat saya berpikir lebih dalam. Jadi saya punya rencana berangkat backpacker-an ke Malang tepatnya ke Gunung Semeru, tapi harus nyari uang tambahan untuk bisa membiayai ongkos perjalanan dan bekal ke sana. Sebenarnya bebas mau gunung apa, asalkan saya bisa mendaki sampai puncaknya juga sudah cukup. Because one of my bucket list is reach on the top of the mountain. Ya, saya jawab saja sebenarnya saya fokusnya ke Semeru sih, ya tapikan butuh uang kesana juga.  Pertanyaan dan pernyataan selanjutya pun terlontar dengan nyeplos. Siapa tau kamu kesana ga cuma diongkosin tapi di bayar. Terus kenapa cuma Semeru? Kenapa ga seluruh Indonesia aja? JLEB! Betul juga ya? Apalagi angan-angan dari dulu itu ingin bertemu langsung satwa-satwa endemik di Indonesia di habitat aslinya bukan kebun binatang. Cuma untuk jadi kenyataan pun mungkin sulit.  (saya harus mention nama tokoh hebat yang terlibat dalam percakapan ini yaitu Yudha P Sunandar  & Anissa Flo Trisdianty)

Tepat tanggal 2 November 2015, kembali merasakan terbang di udara, sesekali tenggelam di dalam gumpalan awan yang seperti kapas. Kali ini saya diberi kesempatan untuk mendarat di salah satu provinsi sebelah barat lebih ke bawah Indonesia. Provinsi Bengkulu. Alhamdulillaah.
Mendarat di Bandar Udara Fatmawati-Soekrano dengan penuh percaya diri walaupun sendiri. Siap untuk menikmati dan mengungkap makna berkesan untuk 5 hari ke depan. Diawali dengan bismillaah, menapak kaki di kota Bengkulu langsung melanjutkan perjalanan menuju Kabupaten Lebong.
Mendarat dengan anggun tapi celingak-celingkuk tak tau arah.
Bandar Udara Fatmawati-Soekarno, Bengkulu

Jarak kota Bengkulu – Muara Aman (ibukota Kabupaten Lebong) berkisar 190 km, perjalan menggunakan mobil memakan waktu sekitar kurang lebih 6 jam. Kalau naik travel ongkosnya bisa sekitar Rp 100.000-Rp 250.000. Yap The journey begins, saya naik travel mobil avanza yang berisi 6 orang penumpang termasuk saya dan supir yang bernama Pak Asep. Belum jauh perjalanan kami, suasana di dalam mobil sudah begitu cair. Ditambah dengan salah satu penumpang, Bu Anis yang sangat semangat menceritakan kisah hidupnya. Beliau sempat tinggal di daerah Tangerang menjadi buruh pabrik, dan baru pindah ke Bengkulu sekitar  1 tahun yang lalu. Merasa senang mengetahui saya berdomisili di Bandung, secara langsung ia merubah logat melayunya menjadi logat sunda dan langsung menceritakan profesinya saat ini. “Ibu mah neng gaduh kebon kopi, ayeuna teh keur ngagarap sareng suami. Basa kapungkur mah ibu sieun daa ka kebon kopi teh, sok aya wawau, hararideung. Jeung teu aya lampu neng diditu mah jadi poek pisan. Sieun pokona mah. Sok atuh neng ameng ka imah, caket dak ti kebon kopi ibu mah. Engke janjian weh mun neng hoyong nya... Untuk menuju kebun kopi dan rumahnya, Bu Anis harus naik ke atas bukit yang jaraknya lumayan jauh menggunakan motor Trail dijemput suaminya.Ya begitulah sepenggal dari percakapan bu Anis. Seorang ibu yang sangat cekatan dan bersemangat untuk mencari nafkah bersama sang suami untuk membesarkan anak gadis semata wayangnya yang saat ini duduk dikelas 3 SMP.

Perjalan yang panjang dan berliku, kadang menerobos jalan yang cukup membuat perut terkocok. Namun, semakin seru dengan mendengar cerita dari  Pak Asep dengan logat Melayunya tentang tempat wisata yang ada di Lebong dan sekitarnya. Tak kalah dengan bu Anis, pak Asep pun sangat semangat untuk bercerita. Beliau menceritakan tentang Legenda Bengkulu yang saat ini diangkat jadi sinetron “7 Manusia Harimau”. Luar Biasa.

Selama diperjalan, kanan dan kiri pemandangan dihiasi oleh Hutan, semak belukar tumbuhan paku Selaginella yang mendominasi penglihatan dengan khas percabangan yang berdikotomi , lalu beralih ke kebun kopi, diselingi dengan pohon durian yang sangat tinggi (1 pohon durian bisa menghasilkan berpuluh-puluh buah durian, sayangnya saya tidak sempat untuk menikmatinya). Pemandangan tidak melulu berwarna hijau, tapi bervariatif ada yang berwarna coklat karena lahan yang gundul bekas penebangan pohon sampai berwarna hitam karena bekas pembakaran hutan.  “ Ya nak dengan caro apo lagi kalo idak dibakar, ya itulah caro yang tercepat buka lahan” begitu ujar Pak Asep.
Lahan bekas ditebangi
Bekas Pembakaran Lahan

Salah satu kekayaan alam di Kabupaten Lebong, Provinsi Bengkulu adalah emas. Eksplorasi dan pertambangan emas  pertama kali di lakukan Belanda di Lebong Donok pada tahun 1897 oleh Lebonggoud Syndicaat.  Mungkin ini juga asal muasal dari pemberian nama daerah Lebong. Salah satu sisa jejaknya adalah Lubang Kaca Mata di daerah Muara Aman. Saat ini Lubang Kaca Mata masih aktif dengan penambangan emas tradisionalnya. Para penambang emas biasa menggali tanah sampai kedalaman hingga 20 meter dengan lebar lubang hanya sekitar 50 cm dengan prosedur keamanan yang mungkin bisa dibilang di bawah standar. Kira-kira sehari bisa mendapatkan 10kg emas. Untuk mengahasilkan emas yang murni dibutuhkan tahapan proses yang cukup panjang. Salah satunya, nanti akan ada tahapan pemberian air raksa, untuk mengikat warna menjadi warna emas mengkilat. 
Para Penambang Emas Lubang Kaca Mata

Tempat ini masih belum terawat dan masih banyak hal-hal yang bisa di explore. Menurut saya jika di atur, dijaga dan dikemas akan menjadi objek wisata yang menarik dan mengedukasi. Para penambang emas bisa diberikan safety procedure yang layak. Wisatawan pun dapat menambah wawasan mengenai tahapan pembuatan emas seperti apa. Ya kembali lagi dengan kebijakannya, saya pun tidak terlalu mengerti perihal ini.
Lubang Kaca Mata: Sisa Jejak Peninggalan masa Penjajahan Belanda

Salah satu objek wisata lain di Kabupaten Lebong adalah Danau Picung, Lebong Atas. Entahlah darimana asal kata Picung itu, nama yang unik haha. Pada saat saya tanya penduduk setempat mereka pun kurang tau. Biaya tiket masuk 1 mobil Rp 10.000. Saat itu sedang musim kering, sehingga danau pun ikut surut.
Wisata Danau Picung, Lebong Atas

Terakhir, tempat ini menurut saya “Hidden Paradise” banget. Berjarak kira-kira 10 km dari pusat kota Muara Aman. Sepanjang perjalanan pun disuguhkan dengan pemandangan yang asri, sungguh membuat hati damai. Rumah penduduk yang masih jarang-jarang. Anak penduduk bermain, berlari-lari di sekitar pekarangan rumah. Aliran sungai yang jernih, dipinggirnya ada padang rumput, banyak binatang ternak bebas merumput di sana sini. Sesekali kendaraan harus berhenti karena ada gerombolan kerbau menyebrang jalan.


Lama perjalanan sekitar 30 menit menggunakan kendaraan beroda dua, akhirnya sampai juga di “Hidden Paradise”. Nama tempatnya adalah “Air Putih”. Aliran sungai, tempat sumber mata air panas bertemu dengan aliran air dingin yang berasal dari hulu. Dari jauh sudah terlihat asap putih mengepul menandakan bahwa sumber mata air panas sudekat. 
Setelah sampai disana, pasti tiada satu orangpun yang tidak takjub dengan pesona air sungai yang jernih, dasar sungai dihiasi dengan bebatuan yang bulat dan lonjong, gemericik aliran sungai semakin membuat suasana damai, dikelilingi dengan udara yang masih bersih menambah supply oksigen ke otak, sehingga pikiran menjadi jernih, sejernih aliran air di depan mata. Pastikan kesana untuk jaga-jaga bawa baju ganti, karena pasti ga akan kuat menahan rasa untuk ga berenang. Jadi pastikan kalau kesana harus berenang, rasakan sensasi loncat dari bebatuan ke air yang jernih dan sejuk sedalam kurang lebih 5 meter. You will feel free.




 By the way, tiket masuk tempat wisata ini seindah dan seasri ini hanya Rp 2.000/orang. Mungkin karena masih belum banyak orang yang tau dan tempat hanya di handle sama penduduk sekitar. Walaupun begitu, seperti pada tempat wisata yang lainnya, ada saja kebiasaan pengunjung yang meninggalkan sampah di sana-sini. Mohon dengan sangat kesadaraannya yaa.. kalau bisa mandi di sungai juga dihindari memakai sabun dan shampoo yang bahan kimianya bisa mencemari airnya. Sayang banget kalau tempat semacam “Hidden Paradise” ini rusak karena kelalaian pengunjungnya sendiri.

Oh iya, selama 3 hari 2 malam di Muara Aman, Kabupaten Lebong saya menginap di hotel Asri. Range harga kamarnya dari Rp 150.000-Rp 450.000. Untuk menuju Lubang Kaca Mata cukup dekat jaraknya. Kendaraan bisa memakai becak-motor yang cuma ada di Kab.Lebong dan tidak ada di kabupaten lain yang ada di Bengkulu. Selain emas, Lebong juga khas dengan kopi, durian dan gula arennya. Oh iya penduduknya juga ramah, cantik dan ganteng-ganteng.



Bersambung dulu nanti akan ada bagian 2, dimana saya benar-benar bertemu dengan satwa endemik Indonesia di habitat aslinya. See ya!

Comments

  1. Asal kata Lebong bukan dari Lebonggoud Syndicaat. :ppp

    Bioa puteak (air putih). Ini yang terbaik. Masuk acara bocah petualang trans tv 2 kali. Harusnya anak2 terjun ke dalamnya telanjang bulat, tapi karena acara tv, mereka pake celana, hahaa.

    Baguss, ceritanya lucu, heheu. Coba nanti dilanjutin lagi, ditunggu. Hohoo. ;)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

HAI BOMBANA!

Sebuah proyek yang membuat saya merasakan kembali terbang di udara, menembus awan, menikmati pemandangan laut dengan bulatan-bulatan abstrak pulau tak berpenghuni,  gunung-gunung yang dihiasi hijaunya tumpukan pepohonan, dan mendarat dengan jiwa yang siap berpetualang namun sedikit khawatir ( because it was my first experience go to  the strange place, alone! ) ke daerah yang saya cari informasinya di google masih sangat minim sekali. HAI BOMBANA! Salam Kenal dari seorang gadis 21 tahun yang penasaran akan keadaanmu disana. Indonesia bagian Timur.. Bombana merupakan salah satu kabupaten yang terletak di sebelah selatan Provinsi Sulawesi Tenggara. Kabupaten yang masih sederhana, belum ada lampu merah, tapi sangat kaya akan sumber daya alamnya. Belum banyak orang mengenal daerah ini, karena kabupaten ini baru terbentuk yang merupakan hasil dari pemekaran Kabupaten Buton. Dari Kendari yang merupakan ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara, tepatnya dari Bandar Udara Haluleo

HAI BOMBANA! Part 2

Selanjutnya, proyek ini terus menuntun saya ke ujung selatan Kab. Bombana, membawa saya masuk ke dalamnya, menyusuri jalan berkelok-kelok dengan sisi jalan yang dihiasi pepohonan jambu mete hingga sampai ke salah satu desa yang terletak di atas bukit, Desa Balasari. Akses jalan masih sulit untuk dilalui mobil, karena belum di aspal. Sehingga mau tidak mau saya harus menggunakan motor. Sinyal pada telepon genggam juga tidak terdeteksi disini. Panas terik matahari juga ikut membakar semangat saya untuk bertugas dan berusaha mendapatkan sesuatu yang asing tetapi harus unik! Langit sangat cerah, mendukung saya untuk beraktivitas dikala siang itu. Nampak jalan yang belum diaspal, tapi suguhan pemandangan sekitar menyulap perjalanan saya menjadi nikmat. Tak jarang pohon-pohon besar yang tumbuh dibabat habis dan dibakar di sebagian lahan untuk dialihfungsikan sebagai perkebunan dan pertanian warga. Desa Balasari sangat kaya akan perkebunan Jambu Monyet/Jambu Mete/Mede (

Transformasi massal

Sore ini, sehabis berkebun bersama petani, kurebahkan tubuhku yang tipis di sofa berwarna hijau. Ada koran Kompas hari ini (25/5/2016) terletak rapi di atas meja. Isi berita nya pun tak habis-habisnya tentang korupsi, kekurangan swasembada pangan, bencana alam dsb. Ada artikel menarik yang membuatku sangat ingin membacanya secara mendalam.  Nama penullisnya adalah Bambang Hidayat, seorang Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Di akhir paragraf karyanya, ada beberapa kalimat yang membuat saya berfikir penuh dengan apa yang beliau tulis.. "Dalam buku ajar ekologi sederhana dapat ditemui bahwa ilmu itu adalah pengetahuan mengenai hubungan timbal balik antara serba hidup dan lingkungannya dimana serba hidup itu tumbuh dan berkembang. Makna yang dapat kita tuai adalah pemekaran benih adab untuk mengecambahkan kualitas luhur kemanusiaan. Ini bukan upaya transfromasi massal agar semua orang menjadi ahli lingkungan, melainkan pengimbang tanggung jawab sesama agar ada waris